Minggu, 25 November 2012

REVIEW JURNAL PSIKOLOGI DAN KOMPUTER

Tugas 7 (FINAL ASSIGNMENT)
Sistem Informasi Psikologi
Putri Uswatul Khasanah (16509360/4PA01)
Rangkuman Jurnal

JURNAL 1

PENGARUH PENGENALAN KOMPUTER PADA PERKEMBANGAN PSIKOLOGI
ANAK: STUDI KASUS TAMAN BALITA SALMAN AL FARISI
Mukhammad Andri Setiawan1, Army Widyastuti2, Aulia Nurhuda
Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2005 (SNATI 2005) ISBN: 979-756-061-6
Yogyakarta, 18 Juni 2005
Meningkatnya jumlah waktu yang dipergunakan oleh anak-anak di rumah dan di sekolah dalam berinteraksi dengan komputer menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana teknologi komputer mempengaruhi perkembangan psikologi mereka. Artikel ini menyajikan riset terbatas terhadap efek penggunaan komputer di rumah terhadap perkembangan aspek fisik, kognitif, emosi, sosial, dan motorik

Di era digital ini, semakin banyak anak-anak yang memiliki akses komputer di rumah atau di sekolah untuk banyak hal, dimulai dari permainan komputer, atau membantu mengerjakan pekerjaan rumah, bahkan melakukan chatting dan email atau pun browsing di Internet. Berdasarkan penelitian sebelumnya, menyatakan bahwa di Amerika Serikat pada tahun 1999 diperkirakan 67% dari rumah yang ada di AS memiliki game komputer konsol seperti Sega atau Nintendo, kemudian 60%  memiliki PC, dan 37% di antaranya telah terkoneksi dengan Internet. Bahkan Subrahmanyam juga menyatakan dalam salah satu risetnya, terdapat pertanyaan yang diajukan kepada anak berumur 8 hingga 18 tahun yang mempertanyakan barang apa yang akan di bawa jika mereka berada di tengah padang pasir, maka mereka akan menjawab komputer dengan akses Internet, termasuk di antaranya televisi.

Di Indonesia, walaupun belum banyak ditemukan riset yang mendalam mengenai jumlah komputer rumah yang dipergunakan oleh anak-anak, tapi dari waktu ke waktu, kepemilikan komputer yang semakin meningkat setiap tahunnya sedikit banyak akan mempengaruhi jumlah anak yang berinteraksi dengannya. Dengan semakin meningkatnya peran komputer rumah dalam kehidupan anak-anak, dibutuhkan sebuah perhatian khusus bagaimana efek dari ini semua kepada anak-anak. Waktu yang dibutuhkan oleh anak untuk berinteraksi dengan komputer sangat mungkin menggantikan waktu anak-anak yang seharusnya dipergunakan untuk mengembangkan kemampuan dirinya baik dalam aspek kognitif maupun aspek motorik.

Penelitian ini diharapkan mampu membantu untuk menunjukkan kepada orang tua dan pihakpihak
yang berkompeten untuk menggali dan memaksimalkan efek positif dan meminimalisir efek
buruk dari penggunaan teknologi komputer pada anak-anak. Penelitian ini dilakukan pada Taman Balita Salman Al Farisi yang terletak di komplek Pogung Baru, Sleman, Yogyakarta. Subjek penelitian adalah para balita, penelitian pada balita dilakukan karena lima tahun pertama merupakan masa emas (Golden Age) dari seorang anak sebagaimana dikatakan oleh Freud.

Penelitian dilakukan dengan membagikan kuesioner tentang pengenalan komputer kepada anak yang diberikan kepada orang tua dari anak-anak yang dititipkan di Taman Balita Salman Al Farisi. Dari kuesioner yang telah disebarkan, diperoleh data bahwa semua anak di Taman Balita Salman Al Farisi telah diperkenalkan komputer oleh orang tuanya, baik berupa permainan komputer (computer game), CD interaktif, dan Multimedia. Untuk mendapatkan data mengenai perkembangan anak, data dari kuesioner orang tua dilengkapi dengan tes perkembangan anak. Dengan demikian diharapkan akan dapat diketahui seberapa jauh perkembangan anak dan hubungannya dengan pengenalan komputer. Alat tes yang dipergunakan untuk menentukan perkembangan anak adalah Kartu Perkembangan Anak (KPA). KPA merupakan wujud deteksi dini (screening) terhadap perkembangan anak.
KPA disusun berdasarkan
•    Bayley Scales of Infant Development
•    Tes Stanford – Binet
•    Denver Development Screening Test
•    Deteksi Kelainan Tumbuh Kembang Dini Depkes RI
KPA dapat digunakan pada anak usia 1-60 bulan, terdiri dari 60 item dan masing-masing item mewakili satu bulan umur kronologis pada kategori anak dengan perkembangan “cepat”, “rata-rata”, dan “lambat”. Item-item tersebut mencerminkan 4 faktor dasar aspek perkembangan anak, yakni: kognisi, emosi, sosial, dan motorik. Hasil dari penelitian ini adalah anak dengan interaksi komputer yang lebih intensif menunjukkan nilai KPA dengan selisih yang cukup tinggi dari nilai standar.
Jadi dapat disimpulkan bahwa anak dengan intensitas interaksi penggunaan komputer yang tinggi (1- >2 jam) memiliki perkembangan kognisi, emosi, sosial dan motorik yang cepat dibandingkan dengan anak yang intensitas penggunaan komputernya rendah (< 1 jam)


JURNAL 2

PSYCHOLOGY OF COMPUTER USE: XL. ADDICTIVE USE OF THE INTERNET: A CASE THAT BREAKS THE STEREOTYPE
Kimberly Young
University of Pittsburgh at Bradford
Psychological Reports, 1996
Kasus ni membahas tentang ibu rumah tangga usia 43 tahun yang kecanduan menggunakan internet. Kasus ini dipilih karena menunjukan bahwa wanita yang berorientasi non teknologi, dengan laporan yang berisi tentang kehidupan rumah tangganya dan tidak ada kecanduan apapun sebelumnya atau riwayat penyakit jiwa, menyalahgunakan penggunaan internet yang mengakibatkan perusakan yang signifikan pada kehidupan keluarganya. Jurnal ini mendefinisikan tentang kecanduan penggunaan internet, menguraikan kemajuan subjek yang kecanduan online, dan mendiskusikan implikasi dari beberapa perilaku kecanduan pada pasar baru pelanggan internet.

Perhatian media pada subjek yang kecanduan internet memiliki stereotip mengenai pecandu yang dominan, yaitu anak muda, berkepribadian introvert, dan laki-laki yang berorientasi pada komputer. Kemudian, penelitian sebelumnya mengindikasikan laki-laki introvert yang berorientasi pada objek menjadi pecandu komputer yang utama.

Kecanduan, dalam DSM-IV jarang muncul, namun ada tujuh kriteria yang mendasari diagnosis ini, antara lain: penarikan diri, toleransi, kesenangan akan substansi, frekuensi penggunaan substansi lebih dari yang diharapkan, pemusatan aktivitas untuk mendapatkan sesuatu yang lebih dari substansi, kurangnya ketertarikan pada kegiatan sosial, pekerjaan, dan aktivitas rekreasi lainnya, dan ketidakperdulian pada konsekuensi fisik atau psikologis yang dikarenakan penggunaan substansi.

Subjek ini dilaporkan, walaupun dia phobia dan tidak mengerti komputer, namun dia tetap dapat mengoprasikan dengan mudah sistem online dari komputer rumahnya, karena aplikasi menu-driven disediakan oleh servis onlinenya. Pelayanan online ini hanya aplikasi untuk komputer yang dia gunakan saja, dan dia awalnya menghabiskan beberapa jam perminggu mengamati beberapa social chat rooms. Dalam waktu 3 bulan, dia sudah membutuhkan sepanjang waktu untuk online, kira-kira 50-60 jam per minggu untuk online. Dia menjelaskan bahwa sekali dia menentukan bagian dari chat room dimana dia merasa cocok dengan partisipan online lainnya, dia akan tetap online lebih lama dari yang dia harapkan. Biasanya, dia logged on di pagi hari, secara konstan mengecek emailnya sepanjang hari, dan dia berdiam diri sampai larut malam menggunakan internet, kadang sampai subuh.

Dia sering merasa depresi, cemas, dan lekas marah apabila dia tidak di dekat komputernya. Dalam usahanya untuk menghindari apa yang dia maksud sebagai penarikan dari internet, dia menyibukan diri dalam aktivitas untuk tetap online selama yang dia bisa. Subjek membatalkan janji, berhenti berhubungan dengan teman-temannya, mengurangi keterlibatan degan keluarganya, dan keluar dari aktivitas sosial yang pernah dia nikmati. Kemudian dia berhenti melakukan tugas rutinnya, seperti memasak, bersih-bersih, dan belanja, yang membuat dia menjauh dari online.

Subjek tidak melihat pikiran kompulsifnya terhadap penggunaan internet ini sebagai masalah, bagaimanapun, masalah keluarga yang signifikan diakibatkan karena dia berlebihan dalam ber internet. Khususnya, 2 anak perempuan remajanya merasa diabaikan oleh ibunya, karena dia selalu duduk di depan komputernya. Suaminya selama 17 tahun mengeluhkan tentang biaya finansial dari biaya servis online yang dia bayar (sampai 400.000 dolar per bulan) dan tentang istrinya yang kehilangan ketertarikan akan pernikahannya. 

Meskipun adanya konsekuensi yang negatif, subjek menyangkal kalau perilakunya ini abnormal, tidak ada keinginan untuk mengurangi jumlah waktu yang dihabiskan untuk online dan mencoba untuk menjalani tritmen, walaupun sudah berulang kali diminta oleh suaminya. Dia merasa masih wajar dalam menggunakan internet, menyangkal kalau siapa pun dapat menjadi kecanduan akan ini, merasa keluarganya menjadi tidak masuk akan dan menemukan perasaan tertarik yang tidak biasa akan dorongan online yang membuuatnya tidak ingin menyerah.

Kasus ini memberi kesan bahwa beberapa faktor resiko mungkin dapat diasosiasikan dengan perkembangan kecanduan penggunaan internet. Pertama, tipe aplikasi dimanfaatkan oleh pengguna online yang mungkin diasosiasikan dengan perkembangan penyalahgunaan internet. Subjek dalam kasus ini menjadi pecandu chat room yang konsisten dengan penelitian sebelumnya yang menemukan aplikasi interaktif tertinggi yang ada di internet menjadi yang paling banyak digunakan oleh pelanggan.

Penelitian mengatakan, sebenarnya, internet sendiri tidak membuat kecanduan, tapi mungkin aplikasi spesifik memainkan peran yang signifikan dalam perkembangan penyalahgunaan internet.
Kesimpulannya, dalam penelitian kali ini, terlihat bahwa selain memiliki manfaat, penggunaan komputer juga dapat berdampak buruk bagi kehidupan manusia jika penggunaannya diluar batas. Selain berdampak pada fisiknya, penggunaan komputer yang berlebihan dapat merusak keadaan psikologi manusia, yang menyebabkan gangguan dan masalah-masalah pendukung lainnya.


JURNAL 3.

VIDEO GAMES ARE COOLER THAN HOMEWORK: THE ROLE OF VIDEO GAMES IN PRIOCRASTINATION
Padmini Harchandrai and Jennifer Whitney

Ithaca College

Procrastination atau prokrastinasi adalah menghentikan kewajiban mengerjakan pekerjaan rumah, proyek, pembersihan, dan berbagai aktivitas biasa  untuk aktivitas yang secara subjektif memberikan lebih kesenangan. Ada beberapa alasan pendukung prokrastinasi, antara lain:
1.    Keunggulan tanpa usaha: pelajar berfikir dapat mendapatkan kesuksesan akademik tanpa usaha yang banya, mereka tidak hadir dikelas atau belajar untuk ujian. Ini akan menyebabkan mereka dikeluarkan dari sekolah. Mereka sering kembali dan meningkatkan performanya dengan meningkatkan usahanya dalam pekerjaan rumahnya.
2.    Takut akan kegagalan: kadang pelajar melakukan prokrastinasi karena mereka takut gagal. Mereka ragu akan kemampuannya dalam mengerjakan tugas sekolah dan akhirnya mereka tidak mencoba untuk memulainya.
3.    Takut akan kesuksesan: contohnya adalah tidak mengambil langkah terakhir untuk sukses sukses di perkuliahan maksudnya adalah bergerak ke kehidupan selanjutnya, bekerja, meninggalkan situasi yang sudah sering ditemui, menerima tanggung jawab yang besar, dan kadang meninggalkan teman-temannya, kadang pelajar tidak mengambil kelas terakhir sebelum kelulusan. Mereka menunda untuk menghindari tantangan baru.
4.    Butuh akan kehebohan: beberapa pelajar menunggu sampai detik terakhir untuk mengerjakan tugas akhir karena mereka menyukai perasaan yang buru-buru untuk berlomba dengan jatuh tempo. Mereka pikir, hasil pekerjaan mereka lebh bagus jika dibawah tekanan.
5.    Kehilangan kontrol: kadang pelajar yang menunda itu kehilangan kontrol. Jika orang tua mereka memaksanya untuk mengerjakan tugas rumah dengan baik, mereka akan menundanya untuk  membuktikan bahwa mereka yang akan membuat keputusan, kapan mereka akan mengerjakan tugasnya.

Mahasiswa yang menunda memiliki berbagai macam alasan. Beberapa media umum penundaan antara lain seperti tv, internet (email, pesan singkat, dan lain-lain) dan video games. Ada beberapa hipotesis dalam projek ini, yaitu:
•    Pesan singkat atau chatting lebih digunakan sebagai bentuk penundaan lebih sering daripada bermain video games
•    Browsing, tidak termasuk games atau email atau chatting lebih sering digunakan sebagai bentuk penundaan dari pada video games.
•    Video games lebih digunakan sebagai bentuk penundaan dari pada makan
•    Laki-laki lebih menyukai bermain video games sebagai bentuk penundaan dari pada perempuan

Orang-orang melakukan penundaan karena mereka tidak menyukai tugas akademik. Tugas akademik memilki manfaat jangka panjang, sedangkan penundaan manfaatnya lebih singkat dan langsung mendapat ganjarannya. Berdasarkan teori Steel, manusia selalu menghindari aktivitas dengan manfaat yang berjangka lama, dari pada aktivitas yang mendapatkan ganjaran dalam waktu singkat.

Untuk menguji hipotesis penulis, penulis menyiapkan survey dengan beberapa pertanyaan berdasarkan prokrastinasi dan aktivitas yang mereka gunakan sebagai bentuk penundaan. Penulis menjelaskan tugas akademik sebagai perlakuan yang berhubungan dengan sekolah, seperti menulis makalah, belajar, dan mengerjakan tugas. Penulis menggabungkan video games, permainan komputer, dan permainan internet  kedalam variabel. Subjek dalam penelitian ini adalah 100 mahasiswa di universitas ithaca. Respondennya 43 orang laki-laki dan 57 perempuan. Setelah data terkumpul, penulis memasukan datanya ke SPSS dan menjalankan bermacam tes untuk memvalidasi hipotesis penulis.

Hasilnya, chating atau pesan singkat digunakan sebagai bentuk penundaan dari pada video games. Lebih dari 100 responden, 40 % menyatakan bahwa mereka lebih sering menggunakan chatting sebagai bentuk penundaan, 3 % responden menyatakan bahwa mereka lebih sering bermain video games untuk penundaan. Kemudian, 73% menyatakan kalau mereka menggunakan chatting, sementara 18% lainnya menyatakan mereka lebih sering bermain video games sebagai bentuk penundaan.

Kesimpulannya para mahasiswa yang melakukan prokrastinasi, lebih banyak dikarenakan chatting atau pesan singkat dari pada bermain video games dan makan. Dalam peneitian kali ini, komputer menunjukan dampak negative nya yang dapat membuat seseorang menunda suatu pekerjaan dan sangat mempengaruhi psikologis seseorang, yaitu yang berhubungan dengan kepercayaan diri dan kontrol diri seseorang mengenai penggunaan media komputer.


JURNAL 4

PENGARUH LONELINESS TERHADAP INTERNET ADDICTION PADA INDIVIDU DEWASA AWAL PENGGUNA INTERNET
Josetta M.R.Tuapattinaja
Nina Rahayu

Fakultas psikologi Universitas Sumatera Utara
Jurnal Psikologia, volume 4, nomer 2, Juni 2009

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari efek dari kesendirian terhadap kecanduan internet pada dewasa awal. Subjek penelitian ini adalah individu dewasa awal berusia 18 tahun ke atas, mengalami loneliness, memiiki kecenderungan mengalami kecanduan internet dan telah menggunakan internet selama lebih dari  12 bulan, jumlah sujeknya 56 yang dipilih menggunakan incidential sampling. Penelitian ini menggunakan skala loneliness dan skala kecanduan internet.

Lonelinnes diartikan sebagai perasaan dirugikan dan tidak terupaskan yang dihasilkan dari kesenjangan antara hubungan sosial yang diinginkan dan hubungan sosial yang dimiliki. Individu yang mengalami loneliness menunjukan beberapa reaksi untuk menghadapi loneliness yang dialaminya, diantaranya melakukan kegiatan aktif (belajar, bekerja, melakukan hobi, membaca dan menggunakan internet), membuat kontak sosial (menelpon, chatting, atau menemui seseorang), melakukan kegiatan pasif (menangis, tidur, atau tidak melakukan apapun), dan melakukan kegiatan selingan yang kurang membangun (menghabiskan uang dan bebelanja)

Internet dianggap sebagai salah satu cara untuk mengurangi loneliness. Internet telah memungkinkan dihubungkannya komputer-komputer dibelahan dunia tertentu dengan komputer-komputer lain dibelahan dunia yang lain. Hal ini memungkinkan pula dihubungkannya individu yang satu dengan yang lain dari berbagai belahan dunia. Penggunaan internet sebagai salah satu cara untuk mengurangi loneliness, sebenarnya  masih dianggap dapat menjadi pedang bermata dua. Pada individu yang mengalami loneliness, disatu sisi penggunaan internet biasanya menimbulkan keuntungan, seperti mengurangi loneliness, mengembangkan perasaan, mendapat dukungan sosial, dan dapat membentuk persahabatan secara online.

Internet addiction diungkapkan sebagai sebuah sindrom yang ditandai dengan menghabiskan sejumlah waktu yang sangat banyak dalam menggunakan internet dan tidak mampu mengontrol penggunaannya saat online. Orang yang menunjukan sindrom ini akan merasa cemas, depresi atau hampa saat tidak online di internet. Penggunaan internetnya sangat berlebihan, sehingga mengganggu fungsinya dalam pekerjaan, sekolah atau dirumah serta menyebabkan korbannya mulai menyembunyikan tingkat ketergantungannya terhadap internet tersebut.

Hasil dari penelitian ini terlihat adanya pengaruh positif loneliness terhadap kecanduan internet. Jadi, orang yang mengalami loneliness dan menjadikan internet sebagai  cara mengatasi kesendiriannya itu, memiiliki kecenderungan untuk menjadi pecandu internet. Terlihat, jika kita sebagai pengguna fasilitas komputer, tidak dapat menggunaannya dengan baik dan benar, malah akan berdampak buruk bagi fisik dan psikologis kita sebagai individu.


JURNAL 5

I’LL GO TO THE LIBRARY LATER: THE RELATIONSHIP BETWEEN ACADEMIC  PROCRASTINATION AND LIBRARY ANXIETY
Anthony J. Onwuegbuzie and Qun G. Jiao

Collage and research library, January 2000

Rata-rata 95 persen dari mahasiswa menunda tugas akademiknya, seperti  menulis makalah, belajar untuk ujian dan tugas membaca mingguan. Pada level kelulusan, perkiraan 60 persen mahasiswa menunda pengerjaan tugas akademik. Penundaan akademik ini biasanya alasannya adalah takut gagal dan penolakan tugas.

Penelitian ini menginvestigasi hubungan antara penundaan akademik dan kecemasan akan perpustakaan pada level kelulusan. Peserta termasuk 135 mahasiswa pascasarjana terdaftar dalam tiga bagian dari pendidikan introductory-level yang diperlukan penelitian saja. Temuan mengungkapkan bahwa keseluruhan penundaan akademik secara signifikan, positif berkaitan dengan dimensi yang mendukung kecemasan perpustakaan: hambatan afetif, kenyamanan  perusahaan, dan hambatan mekanikal. Sebuah analisis mengungkapkan bahwa korelasi terbaik penundaan akademik dihasilkan dari rasa takut gagal dan penolakan tugas yang secara signifikan terkait dengan hambatan dengan staff, hambatan afektif, kenyamanan perpustakaan, dan pengetahuan tentang perpustakaan. Akademisi penundaan juga dikaitkan dengan tenggat waktu pengajuan tugas, menunfa pengambilan ujian lanjutan, menerima nilai rendah, dan mencapai titik rata-rata kumulatif kelas rendah.

Meskipun efek akademik penundaan antara mahasiswa pascasarjana dapat mempengaruhi kinerja di segala bidang akademik, ada kemungkinan bahwa itu sangat merugikan ketika siswa terlibat dalam mengusulkan dan/atau melakukan penelitian, seperti yang biasanya terjadi dalam kursus-kursus metodologi penelitian. Onwuegbuzie menemukan bahwa banyak mahasiswa pascasarjana menunda-nunda di berbagai tahapan dari proses penelitian, termasuk ketika terlibat dalam proses review literatur. Karena banyak siswa juga mengalami kecemasan Perpustakaan saat kita melakukan riset, sangat mungkin bahwa penundaan akademik berhubungan dengan kecemasan Perpustakaan, meskipun ini belum diuji secara empiris

Partisipan di uji dengan skala kecemasan perpustakaan dan skala pengukuran prokrastinasi. Dikembangkan oleh Sharon L. Bostick, skala kecemasan perpustakaan berisi 43 item, 5 poin skala likert, format isinya berupa pengukuran level kecemasan perpustakaan. Instrumennya antara lain: hambatan dengan staff, hambatan afektif, kenyamanan perpustakaan, pengetahuan tentang perpustakaan, dan hambatan mekanikal. Hambatan dengan staff ini maksudnya adalah, persepsi mahasiswa bahwa pengurus perpustakaan dan staff perpustakaan lainnya mengintimidasi, tidak dapat didekati, dan terlalu sibuk untuk menyediakan bantuan dalam penggunaan perpustakaan.

Sebuah analisis hubungan terbaik dilakukan untuk mengkombinasikan alasan dari dimensi prokrastinasi (takut akan kegagalan dan penolakan tugas) yang mungkin berkorelasi dengan kombinasi dari dimensi kecemasan perpustakaan. Analisis hubungan terbaik ini digunakan untuk menguji hubungan antara 2 variabel kerika setiap set berisi lebih dari satu variabel.  Hasil dari penelitian ini adalah, hubungan antara penundaan akademi dan kecemasan perpustakaan memberikan bukti lebih lanjut bahwa penundaan itu lebih dari defisit manajemen waktu dan kemampuan belajar, tapi juga mencakup komponen kognitif dan afektif.

Tabel 1 menampilkan momen korelasi-the Pearson Product ((zero-order correlation) antara keseluruhan bentuk penundaan akademik dan lima dimensi kecemasan perpustakaan. Menggunakan penyesuian Bonferroni untuk mengontrol kesalahan tipe 1, ini dapat melihat hubungan positif keseluruhan  penundaan akademik dengan hambatan afektif, kenyamanan perpustakaan, dan hambatan mekanikal. Tabel 1 juga menampilkan hubungan antara w alasan penundaan (takut gagal dan penolakan tugas) dan lima dimensi dari kecemasan perusahaan. Dengan menggunakan penyesuaian Bonferroni, dapat dilihat takut gagal ositif berhubungan dengan hambatan afektif dan kenyamanan perpustakaan. Dan penolakan tugas positif berhubungan dengan hambatan afektif dan pengetahuan tentang perpustakaan.

Pada penelitian ini menggunakan aplikasi komputer SPSS. Penelitian ini memanfaatkan penggunaan komputer, untuk membantu memudahkan proses perhitungan dan pengolahan data mentah pengujian partisipan.



SUMBER:
- http://journal.uii.ac.id/index.php/Snati/article/viewFile/1308/1067

- http://198.64.250.26/articles/stereotype.pdf

-https://dl.boxcloud.com/bc/1/f1ce406b90813f541764a7b77a30e1ea/JolueqOGpciD6dgYhecNBoVpYxkvmYe1ZLheZor6BF4DUBIelMQTkFwYIys3nIibNIIEHUp447tBZLaXDzIbNQ,,/8768115cdd8262d6314d19b6fc1adaa5/

- http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/42094954.pdf

-https://dl.boxcloud.com/bc/1/9d6008a7e70dd7a5d388f5537e06e8c6/JolueqOGpciD6dgYhecNBoVpYxkvmYe1ZLheZor6BF4DUBIelMQTkFwYIys3nIibNIIEHUp447tBZLaXDzIbNQ,,/22811da4b216c621674dfe1f095b50c4/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar